Bekerja untuk Apa (2) END

 Bismillah..


Saya lanjutkan kembali ya teman-teman, pada tahun 2021 bisa dikatakan adalah tahun tersibuk untuk mencoba berbagai pekerjaan dan menjalaninya. Beberapa percobaan sudah diikuti, dan yang Allah berikan adalah sebagai enumenator dan konselor online saat itu. Hingga pada saat ada pembukaan CPNS, saya mengetahui info tersebut dari Papa. Papa menginformasikan saja, tidak memaksa ikut. Namun dapat saya lihat, orang tua mana yang tidak bangga anaknya jadi abdi negara. Apakah saya berniat ikut? Awalnya tidak, namun saya melihat segala peluang, dan dalam doa yang terus saya panjatkan...


"Yaa Allah, pilihkanlah pekerjaan yang membawa keberkahan dunia akhirat namun dapat memudahkan saya sebagai wanita menjalani fitrah ini.. pilihkanlah, lapangkan jalannya, kuatkan jiwa dan raga ini, mudahkan ridho kedua orang tua hamba, karena hamba tidak tau mana yang terbaik untuk diri sendiri.."


Akhirnya saya putuskan untuk ikut, terlebih karena ada lowongan yang sangat langka, CPNS yang penempatannya di kota saya domisili. Terutama yang sesuai jurusan saya juga. Jurusan saya kebanyakan tidak punya lowongan di tempat tinggal saya saat itu, mengharuskan merantau, ke kota besar atau luar pulau, maupun luar negeri terbuka lebar. Namun hal itu tidak menjadi pilihan karena saya hanya akan merantau jika sudah menikah atau ketika keluarga saya pindah (untuk ini mustahil karena kedua orang tua saya sudah menetap di kota tersebut).


Berbagai seleksi saya ikuti, tahapan demi tahapan mulai dari seleksi administrasi, SKD dan SKB hingga pemberkasan termasuk tes kesehatan. Beberapa orang saya temui turut mendoakan keberhasilan, dan kemudahan dalam segala prosesnya. Beberapa pun mempertemukan kembali dengan sahabat lama maupun kenalan lama yang turut menyambung silahturahmi dengan kedua orang tua. Satu hal yang saya lihat, "bangga" namun hati saya tidak terlalu merasakannya karena saat itu saya juga sedang cemas terkait pernikahan. Apakah takdir saya menikah atau bekerja dulu? Ada firasat yang tidak biasa..


Akhirnya di awal 2022 saya dinyatakan lulus sebagai CPNS, masa menunggu penetapan NIP dan surat panggilan bekerja akhirnya saya dapatkan di Bulan April 2022. Pada 5 April 2022, bertepatan dengan ultah adik pertama saya, Papa ikut mengantar ke kantor saya di Surabaya sebelum memulai penempatan di kota domisili saya tersebut. Papa saat itu sakit, tapi tetap memaksa mengantarkan saya saat itu. Tidur pun di mobil sembari menunggu acara saya selesai, namun tak ada rasa lebih haru saat melihat Papa tersenyum melihat saya memegang surat perintah bekerja dan SK sebagai CPNS. Tak ada pikiran lain selain syukur dan tenang melihat kedua orang tua juga senang. Alhamdulillah...


Hingga akhirnya pada bulan Mei, saya bertaaruf dan mendapati sebuah pilihan apakah akan tetap bekerja atau ikut suami dan melepaskan pekerjaan saya. Sebuah dilema baru yang tidak terbayangkan, saya baru kenal dua minggu dan kemudian dua minggu kemudian saya dikhitbah tanpa persyaratan apa pun apakah harus ikut calon suami atau tidak. Sebuah istikharah panjang dan gak mudah membaca tanda. Kedua orang tua pun istikharah. 


Selama bekerja saya memiliki tim kecil yang hebat, sebelumnya saya belum pernah punya tim kerja sekompak ini. Saling melengkapi dan menghargai, namun karena pekerjaan saya menuntut siap sedia 24 jam (layanan sosial masyarakat), saya pun jadi kehilangan work life balance. Bekerja di sebuah lembaga yang cukup prestise bagi banyak orang, penghasilan yang tetap dan banyak bagi saya, lebih dari cukup (di atas UMR kota saya saat itu), namun ada rasa tidak tenang terutama jika terlalu lama meninggalkan keluarga, keselamatan diri sebagai perempuan juga saya khawatirkan. Saya memang cukup lincah di lapangan maupun administrasi, namun jika harus dibagi dengan kewajiban sebagai wanita yang sudah menikah, apakah akan se-mindful itu? Apakah ini yang saya mau, apakah ini yang Allah mau?


Doa yang sama senantiasa saya panjatkan,

"Yaa Allah, jika laki-laki ini dan keluarganya adalah jodohku yang membawa kebaikan dunia akhiratku mohon beri kemantapan. Jika mantap berarti kesediaanku untuk mengikutinya tolong jadikan ladang ibadah terbaikku, baktiku untuk keluarga dan agama ini.. jika hati ini tidak mantap memilihnya, maka selesaikan dengan baik-baik. Mengenai pekerjaanku saat ini hamba pasrahkan padaMu.."


Saat Mama saya berkenalan dengan calon suami, ada raut wajah tenang dan senang. Beliau merestui kami. Saat menanyakan keputusan saya tentang pekerjaan, beliau menanyakan rencana hidup saya kedepan dan tidak memaksakan apa pun. Namun paling berat adalah restu Papa tentang pekerjaan, sayang sekali jika ditinggalkan. Banyak yang mau diposisi saya, perjuangan yang tidak mudah dan inilah hal yang sangat sering saya dengar dari banyak orang lainnya. Namun saya katakan pada Papa, bahwa saya lebih nyaman bekerja di rumah menjalani fitrah sebagai perempuan, sambil melanjutkan bisnis yang saya juga jalani. Pekerjaan di bidang ini tidak mudah, amanahnya pada masyarakat, negara dan agama sedangkan saya tidak yakin bisa menyeimbangkan kehidupan saya nanti jika sudah menikah dan bekerja yang mengharuskan saya LDM (Long Distance Marriage). Papa tidak keberatan dengan laki-laki tersebut namun masih berat memberikan restu terkait melepas pekerjaan. 


Lalu apa yang membuat Papa saya ridho atas saya melepas pekerjaan? Rasa sayang dan percaya atas pilihan anak perempuan satu-satunya inilah yang akhirnya membuat Papa saya merestui. Allah yang membuka hati Papa saya, entah dari jalan apa, apakah dari perkataan temannya, atau saudaranya, saya tidak tau pasti namun restu itu saya rasakan. Tidak pada hari saya akad nikah, namun pada saat saya telah menerima surat keputusan pengunduran diri saya, sekitar bulan Oktober 2022 mulai saya rasakan. Seiring setelahnya saya merasakan, kasih sayang Papa yang lebih besar itulah yang turut memberikan nuansa indah berbalut restu untuk saya. Jalani, ikuti suamimu seperti Mama dulu ikut Papa saat usiamu sudah 5 tahun, barangkali itulah yang Papa rasakan. Agar jika Allah karuniai anak nanti, tidak perlu weekend atau beberapa minggu bertemu ayahnya dan dampak lain Long Distance Marriage yang tidak diinginkan. Walaupun tidak benar-benar menyatakannya, tapi rasa kasih dan sayang yang Papa beri itulah memberikan arti keridhaan tersebut. 


"Yaa Allah sayangi kedua orang tuaku, sayangi Mamaku, Papaku seperti menyanyangiku diwaktu kecil hingga saat ini yang tak lekang waktu. Semoga atas keridhaan mereka, turut menjadi saksi dan pemberat amal mereka sehingga kami tidak hanya dapat berkumpul di dunia namun di SurgaMu.."


Alasan lainnya saya melepas adalah buat apa bertemu dan bersatu jika berpisah jarak? Bagi saya itu tidak bisa karena keberkahan menikah akan terasa jika keduanya bersatu dan bersama-sama jiwa dan raga. Alasan lainnya adalah keselamatan sebagai perempuan. Saya pernah merantau dan bekerja di sebuah institusi yang cukup prestise sebelum di tempat ini. Namun mengapa ya, tidak ada yang menyayangkan saat saya mengundurkan diri dari instansi tersebut? Semuanya karena anggapan masyarakat tentang CPNS yang masih jadi primadona pekerjaan tentunya. Tidak salah, namun tidak semua orang memilih hal yang sama sekarang, terlebih generasi milenial. Alasan keselamatan juga menghantui saya, saya terganggu dengan rekan kerja pria yang tidak baik. Begitupun dengan pekerjaan saya yang ini, jika tidak dekat dengan suami rasanya keselamatan saya tidak terjamin terlebih belum menikah.


Akhirnya saya putuskan untuk menerima khitbah tersebut dan mengikuti suami. Saya mengundurkan diri dari CPNS terhitung Juli 2022. Hanya 3 bulan saya bekerja, kesan dan hikmah luar biasa dalam hidup tentang tujuan bekerja saya baru rasakan, yakni :


1. Bekerja tidak semata-mata untuk uang, tapi juga tentang ketenangan dalam menjalani fitrah diri dan aktualisasi diri atas dasar memohon ridhoNya.

2. Bekerja untuk memperoleh keberkahan dengan dasar hati yang ikhlas, tulus, kerja keras dan cerdas sangat dibutuhkan.

3. Bekerja tidak untuk membanggakan dan membuktikan pada orang lain tapi kembali kedalam potensi diri, mampukah kita jalani sepenuh hati.

4. Bekerja bisa dari mana saja, wanita pun bisa bekerja dari rumah, bisa secara online dan offline, mau dia sarjana atau tidak. Terlebih saat menjalani perannya sebagai istri dan ibu, yakni pekerjaan terbesar dan maha dahsyat sedang dijalankan. Karena wanita tidak diminta pertanggungjawabannya atas bekerja (mencari nafkahnya) namun atas peran yang melekat padanya (anak, istri, ibu) dan pendidikan anak-anaknya.

- Fitrah wanita : hamil, melahirkan, menyusui


5. Wanita yang bekerja diluar rumah dan memiliki profesi selain fitrah juga baik karena dia berani atas pilihannya dan Allah mampukan mengambil peran tersebut. Berkat mereka juga wanita lebih aman dan nyaman saat ke dokter karena ada dokter wanita, guru wanita, aktivis wanita dan lain sebagainya. Sudah ada garis takdir atas diri kita sendiri termasuk peran "pekerjaan" apa yang menjadi label diri kita.


Saya paham, tidak semua punya prevailage orang tua yang tidak mengharuskan anaknya bekerja, atau pasangan yang juga meminta sebagai istri ikut membantu ekonomi keluarga. Saya akui prevailage itu saya miliki dan atas keduanya saya bersyukur, apa pun pilihan kalian sebagai wanita. Wanita bekerja, wanita sebagai ibu rumah tangga, maupun bekerja dari rumah namun tetap sebagai ibu rumah tangga tidak perlu diperdebatkan karena semuanya kembali ke diri masing-masing, situasi dan prinsip hidup kita berbeda dan kondisi keluarga berbeda. Tidak perlu menyudutkan, berprasangka buruk apalagi menjudge wanita lain. Itulah hal berharga yang terkadang sulit dilakukan. Padahal kita kan manusia, sudah sewajarnya untuk saling menoleransi.


Semoga tulisan ini dapat bermanfaat, saya mohon maaf jika ada pihak yang tersinggung. Terima kasih sudah meluangkan membaca dan mengerti, semoga apapun yang kita pilih tidak membuat kita menjauh dari fitrahNya. Menjadi manusia yang memanusiakan manusia lain. Menjadi bijak atas segala pilihan diri dan siap menerima konsekuensi atas pilihan yang dijalani.


Barokallahu fikum..

Komentar

Postingan Populer