Bekerja untuk Apa (1)

Bismillah

Akhirnya, saya menulis hal yang tidak saya sangka sebelumnya. Padahal untuk mendapatkan ini perjuangannya gak mudah, namun pernah enggak ada suatu masa dihidupmu.. yaps, inilah saatnya, inilah jalannya, inilah jalan baktiku yang aku pilih, jadi aku mantap memilih ini, tanpa memikirkan apa kata orang lain. Jika memang keyakinan itu didapatkan dengan cara terbaik, memohon pertolongannya, ridha orang tua, why not. Ini adalah lika-liku saya dalam mencari arti kata 'bekerja'.


Saat akhir kuliah dan sebelum menikah saya berupaya untuk mandiri secara finansial. Bukan karena tuntutan sebagai anak pertama, tapi karena gak bisa diem dan seru aja kalau diri ini bisa bermanfaat untuk orang lain, terlebih kebutuhan hidup di akhir kuliah karena 'menunda' setahun untuk lulus. Tidak lagi dapat beasiswa kampus dan tidak nyaman mengandalkan kiriman dari orang tua. Ada kebutuhan untuk keluarga di rumah dan kebutuhan kedua adik laki-laki saya.


Saya ingat pekerjaan pertama adalah sebagai buruh borongan, mengemas makanan oleh-oleh 'Rambut Nenek' di Gang Bayang, Dago, Bandung. Perbungkus diberi harga Rp 1.000,00 jika perfect, kalau tidak hanya Rp 800,00. Saat itu teman pertama di tempat kerja adalah supervisor saya sendiri, namanya Teh Mawar. Namanya memang Mawar, hehe. Karena seumuran kami lebih akrab, pekerja lainnya adalah ibu-ibu yang lebih senior dari kami. Saya hanya bekerja dua hari, karena gak kuat batuk-batuk terus. Selain itu dosen pembimbing sudah menerima kembali untuk bimbingan. Kampus saya memiliki masa praktikum yang banyak dan memiliki jadwal bimbingan juga, wisuda juga setahun sekali, jadi timelinenya gak bisa disamakan dengan kampus lainnya. Jadi tidak ada alasan lagi menunda, setelah 'urusan keluarga dan pribadi' itu usai sebagai alasan menunda penyelesaian skripsi.


Gaji pertama saya saat itu adalah Rp 28.000,00. Namun terpakai makan siang, beli di warung dekat tempat kerja saya tinggal, yakni tersisa hanya Rp 8.000,00. Ironi memamg, namun hikmahnya saya punya teman baru dan melihat persepsi tentang perjuangan serta penghargaan atas waktu dan uang itu sungguh berharga. Masa-masa 2018 adalah masa yang tidak terlupakan, memang saat Praktikum 3 disebuah desa saya pernah juga bekerja. Saya bekerja jadi reseller ciput rajut Binong, Bandung. Namun baru pertama bekerja sebagai buruh borongan yang ternyata sarat makna, kerja yang benar-benar 'ikut orang'.


Kemudian saat memulai kembali bimbingan skripsi di akhir tahun 2018, saya dipanggil salah satu dosen. Beliau meminta bantuan untuk mengajar di Day Care kampus, lalu untuk asesmen masalah dan kebutuhan tempat tersebut. Karena waktu saya cukup luang, yakni hanya digunakan untuk bimbingan ke kampus jadi saya lebih leluasa jika ada aktivitas lain di kampus. Saya mengiyakan, dan masyaAllah sebulan yang bermakna juga. Setelah mengajar dan memberikan laporan tersebut ke dosen saya. Beliau memberikan reward berupa uang yaitu Rp 500.000,00. Saya belum pernah memiliki uang atas jerih payah sendiri sebesar itu selama hidup. Saat saya ingin mengembalikan beliau tidak menerima karena memang beliau memberikannya sebagai reward. Terima kasih Ibu, salah satu dosen yang sangat saya hormati dan senantiasa saya sebut dalam doa. Sebagai salah satu alasan saya kuat menjalani perkuliahan di Bandung, bagi saya beliau seperti Ibu saya sendiri di tanah rantau.


Berbekal pernah mengajar anak PAUD dan TK di Day Care. Saya jadi tertarik apply sebagai tutor privat, akhirnya selama awal 2019 sampai saya menjelang sidang skripsi, pekerjaan yang saya lakukan adalah sebagai Tutor Privat Bahasa Indonesia dan Inggris untuk anak SMP di sebuah lembaga bimbel di Bandung. Gajinya pun bisa lebih dari Rp 500.000,00 hingga mendekati Rp 1.000.000,00 jika giat mengajar, tergantung berapa anak yang diajar dan matpel yang diambil.


Namun, apalah arti gaji jika tidak bermanfaat dan hanya lewat begitu saja. Barangkali itu tidak cukup buat biaya hidup di Bandung, kos saja bisa lebih dari Rp 500.000,00 saat itu. Disanalah arti kata cukup, banyak hal yang membantu saya akhirnya lulus pada bulan Juni, di tahun 2019. Gaji yang saya miliki bisa untuk bayar kos dan kebutuhan sehari-hari, sedangkan kebutuhan lainnya dari kiriman orang tua saya bisa ditabung atau gunakan jika terpaksa, masuk dana darurat, hehe


Setelah lulus, ternyata dunia kerja begitu menantang. Saat belum lulus masih ada label 'mahasiswa' sedangkan saat lulus saya membawa label 'diri sendiri'. Hal yang saya pelajari tentang bekerja adalah, tujuannya. Untuk apa sih bekerja? Hal tersebut baru benar-benar saya dapatkan jawabannya menjelang pernikahan saya di tahun 2022.


Beberapa percobaan saya ikuti mulai dari pemerintah dan swasta, hingga akhirnya melanjutkan bisnis sebagai reseller sebuah produk. Saya melihat kebutuhan masyarakat sekitar akan hidup sehat itu penting. Saya juga sering sakit jadi saya memutuskan untuk menjual produk herbal dan skin care natural seusai lulus.


Alhamdulillah kedua orang tua mendukung, dan tidak membebankan finansial keluarga pada anak pertamanya. Mereka tau karena saya lebih senang beraktivitas di rumah, menjalani fitrah sebagai wanita, namun kalau bekerja harus keluar pun diizinkan asal itu pilihan saya sendiri. Saya bersyukur memiliki orang tua yang demokratis dan tidak memaksakan kehendak, hanya ingin yang terbaik untuk anaknya. Rasa percaya pada anaknya itulah yang membuat saya berani banyak mencoba hal baru dan mengambil pilihan yang tidak mudah.


Singkat cerita, sejak 2019-2020 saya diberikan kesempatan untuk jadi pengajar, mulai dari Day Care, Tutor Privat SMP, hingga disebuah sekolah swasta di Bogor. Namun saat pandemi semua berakhir, saya pulang karena merasa tidak cocok diranah itu dan demi keselamatan diri juga berada di rumah. Pada 2021 saya memberanikan diri apply sebagai enumenator, dari awal hingga akhir tahun itu, saya berkesempatan memegang tiga proyek. Disinilah ujian saya dimulai kembali, saat sudah nyaman di rumah, ada masa saya merasakan sebagai pekerja lapangan, petugas survei lapangan yang kantornya di jalan dan rumah warga. Seru namun cukup menguras energi saya sebagai introvert.


Di sela-sela sebagai enumenator saya juga diajak teman dan menjalankan konseling online. Dua dunia itu saya coba jalankan, online dan offline. Saya yakin, selagi masih ada kesempatan, waktu, dan tenaga inilah masa percobaan dan perjuangan. Terkadang sesekali timbul iri akan pencapaian teman yang sudah memiliki pekerjaan tetap, bisnis yang mulai berkembang, dan ranah apa yang dijalani. Sedangkan saya..masih belum. Namun hal itu tak membuat saya berhenti, terlebih melihat orang tua yang mendukung dan terus mendoakan sembari saya juga menyiapkan diri akan takdir lainnya yaitu menikah.


..........


(Bersambung)



Komentar

Postingan Populer