Bukan Kisah yang Pertama

Ketika awan sore menghamburkan warna cerah lembayung ke angkasa, saat itulah seorang anak sedang berlari menghampiri Ayahnya yang sedang berdiri menunggu bus. Lalu sang Ayah kaget saat anak itu memeluknya. Seketika itu juga dia berbalik lalu membalas pelukan anak laki-laki itu. Sang anak tampak senang. Begitu pun Ayah anak itu. Tampak mereka keluarga yang bahagia. Terlihat dari binar mata keduanya yang benar-benar segar. Mereka pun tak peduli sekitarnya, benar-benar serasa dunia milik berdua. Tapi, apakah itu memang begitu? Apakah pantas aku berprasangka buruk begitu? Mungkin saja mereka tak peduli sekitarnya karena mereka benar-benar sangat bahagia. Dan apa salahnya dengan orang yang benar-benar bahagia? Toh, mereka tak melakukan hal-hal yang buruk. Hanya berpelukan, ya hanya berpelukan. Ungkapan kasih saynag antara Ayah dan anaknya. Tapi ada lagi dampak pada orang lain yang tidak mereka tahu, apa itu? Mereka membuatku iri. Tapi apa peduli mereka. Aku pun tak keberatan saat mereka membuat aku iri. Hal yang wajar bukan, apalagi untuk anak sepertiku…

Aku hidup dikalangan perumahan di pinggir kota, sebuah kota yang tenang dan nyaman. Aku juga hidup di daerah perumahan yang kompak, ceria dan rukun. Punya dua orang hebat yang sampai sekarang dapat aku cium tangannnya setiap hari. Mereka adalah kedua orang tuaku. Ayahku selalu bersedia nganterin anaknya ini kemana-mana. Serta, Ibuku yang selalu jadi supporter aku saat aku jatuh. Hidup sebagai anak bungsu dari dua saudara. Punya tiga orang istimewa yang telah ku kenal sejak kelas tujuh. Apa lagi ya? Yang jelas aku bersyukur dengan apa yang kudapat. Itu dulu

Lalu kembali lagi kekeadaan saat ini. Saat aku melihat Ayah dan anak laki-laki itu di halte bus. Kemudian Ayah dan anak itu melepas pelukannya. Di ikuti kedatangan seorang Ibu paruh baya yang berkerudung merah maron dengan tas besar di genggamannya, serta seorang anak perempuan kecil disampingnya. Mereka berempat tersenyum sambil menunggu bus datang. Aku masih diseberang jalan menunggu bala tentara kendaraan sedikit tenang agar aku bisa nyebrang. Tapi mulai tadi gak mau berhenti dulu. Lumayan rame, dan gak ada celah untuk pejalan kaki sepertiku untuk pergi ke tempat impian di seberang. Cielaahhh…

Bus yang ditunggu datang, lalu segera menutup tiga sosok yang telah aku perhatikan dari tadi. Tanpa membuang kesempatan untuk sampai ke seberang aku pun langsung jalan dengan perlahan, sambil menengok kanan kiri takut ada kendaraan yang tiba-tiba muncul. Lalu kernet bus itu menyapaku…

    “Naik Non?”
    “Enggak Bang.”
    “Mau kemana?”
    “Emmmm… mau jalan-jalan.”
    “Kemana Abangnya?”
    “Udah gak bisa nemeni, Bang.”
    “Maksudnya, Neng?”
    “Ke rumah wes, ajak si Tias. Nanti juga tahu.”
    “Ohh, ya ya..”
    “Pamit Bang..”
    “Iya, hati-hati Neng!”

Sepertinya tak banyak yang mengenal sosok kakakku. Atau bahkan telah melupakannya. Kakakku, anak pertama dikeluarga kami. Sosok yang benar-benar inspiratif dan mengagumkan. Tokoh yang selalu jadi teman main voli di rumah, di lapangan deket rumah, dan di sekolah juga. Tokoh yang jadi guru saat aku gak ngerti soal pelajaran. Tokoh yang jadi temen nebeng kalo lagi baik, sih. Soalnya gak pernah mau bonceng cewek, gak tau kenapa, padahal aku kan adiknya sendiri. Dan satu lagi tokoh kakak yang baik banget. Serta satu lagi peran yang baru aku sadar selama ini, teman curhat. Dia tokoh yang bisa jadi apa aja deh.. Salut sama kakak…Namun bukan berarti aku selalu curhat sama dia tentang apa pun. Ada batas-batas sendiri yang harus aku bagi sama sahabatku dan kakakku. Namun yang paling teringat itu, saat curhatan pertama tentang suatu yang menjadi batas itu. Saat dimana aku gak bisa cerita sama ketiga sahabatku. Kenapa? Karena itu menyangkut hubunganku dengan sahabatku. Dan yang paling beruntungnya ternyata pilihanku benar karena aku cerita pada orang yang tepat, sebelum dia pergi.. Dimana keinginannya hanya satu. Dia ingin melihatku bahagia. Kakakku ingin melihatku bahagia.

Kakakku meninggal dalam kecelakaan, saat akan pulang ke rumah. Dia langsung dibawa ke rumah sakit memang, namun sudah tak tertolong lagi. Tuhan terlalu menyayanginya sampai-sampai mengambilnya dulu. Terkadang aku terpikir, kenapa aku baru sadar bahwa aku sangat menyayangi kakakku ketika dia sudah pergi? Kenapa aku baru sadar bahwa aku sangat membutuhkan kakakku ketika dia sudah tak ada? Rasanya ingin aku putar kembali waktu, atau pun menahannya saja, walau semenit untuk mengulang saat-saat bersama kakakku itu. Tapi itu sangat mustahil, waktu terus berjalan. Tanpa menghiraukan siapa pun. Atau urusan apa pun..

(Izinkan aku menyinggung kisah saat itu ya, Kak? Tak apa kan?)

Saat itu setelah extra voli, aku bergegas pulang. Sadar akan kak Yuna yang gak akan bisa aku tebengin, aku langsung capcus ngambil hape. Ngetik di keypad ‘Pa jemput’. Sebelum klik ‘kirim’ tiba-tiba ada suara yang ku kenal ngajakin bareng. Ternyata, pucuk dicinta ulam pun tiba. Sang kakak yang entah ada hawa baik apa nawarin bareng. Sambil tersenyum puas aku langsung ke Kak Yuna. Tanpa bilang apa-apa, bahkan sampai lupa pamitan ke tiga sahabatku itu. Gak sengaja, maaf ya. Habis girang bukan kepalang, kakakku nawarin bareng. Rasanya kok wah banget gitu ya… Emang iya ya gitulah rasanya juaraaang pulang bareng kakak. Dia selalu aja ada kesibukan jadi gak bisa bareng. Satu lagi dia gak pernah bonceng cewek, kecuali aku sama Mama. Hahaha, beruntunglah. Soalnya kakakku itu lumayan jadi primadona cewek-cewek sih. Jadi merasa seneng aja bisa dibonceng, dia selalu cuek. Sama adiknya aja cuek, gimana coba??

Nah setelah sampai rumah, lalu sholat magrib berjamaah. Aku belajar, saat itu aku belajar fisika. Tiba-tiba ada yang buat aku gak ngerti, akhirnya aku tanya ke kakakku. Sebelum aku ketuk pintu kamarnya, aku denger ada dari dalam kamarnya suara gitar dibunyikan. Dari melodinya seperti ku kenal.

    …’Cause if anyone can make me fallin’ love, you can… (You Can by David A.)

Lalu kakakku menghentikannya. Aku pun langsung mengetuk pintu. Lalu Kak Yuna membuka pintu kamarnya.

    “Nganggu kak?”
    “Gak.. Ada apa? Fisika lagi?”
    “Hehehe, kok tau sih?”
    “Yaiyalah, Yuna Ammarsyah Putra gitu.”
    “Nah, terus? Gak disuruh masuk gitu?”
    “Boh iya, masuk dah. Tapi, aku mau kamu cerita sesuatu, Dek.”
    “Iya wes.”

Gak berselang lama, aku dapat nyelesaian tugas itu. Sebenernya cukup mudah, hanya saja aku yang males mau mikir. Jadi galau jawabannya.

    “Ngerti dah?”
    “Iya.”
    “Materi itu dimengerti, jangan afalin. Anggep kayak cerita, kamukan suka baca cerita.”
    “Iya kak, itu mah lain. Kalau cerita ya cerita dong.”
    “Tapi apa salahnya gitu, buat mempermudah.”
    “Tapikan…”
    “Tapi kan itu… Bosen denger itu tok, Dek. Ayolah yang semangat belajar! Masa’ gitu udah myerah?”
    “Gak gitu kak, hehehe. Iya iya, aku janji aku mau lebih semangat belajar.”
    “Good!”
    “Btw, mau aku cerita apa nih kak?”
    “Sesuatu yang belum kamu ceritakan, Dek.”
    “Hah?”
    “Iya. Aku lihat kamu mulai mengalaminya.”
    “Maksudnya?”
    “Dan hal itu mempengaruhi persahabatanmu dengan salah seorang temen dekatmu itu. Aku tahu dek, aku tau. Aku ingin tahu siapa dia. Ya, dia. Yang telah buat kamu senyum-senyum sendiri. Buat kamu senang, dan aku lihat kamu nangis. Juga buat kamu seperti jaga jarak antara kamu dan salah seorang sahabatmu.”
    “Heh? Kelihatan ya Kak? Aku… gak apa-apa kok.”
    “Aku gak akan ngajarin kamu main gitar, lho ya. Atau tiap hari mau aku mainin lagu tadi biar kamu nyerah?”
    “Emang kenapa lagunya? Gak ngefek apa-apa kok.”
    “Iya gak ngefek kalo kamu mau bohongin aku, Dek. Jelas itu sesuatu.”
    “Iya sih kak, itu lagu kesukaanku. Aku ingin suatu saat nanti akan ada yang nyanyiin lagu itu buat aku. Seseorang…”
    “Udah ketemu sama seseorang itu?”
    “Udah kok, tapi sayang lagu itu bukan untukku. Tapi untuk…”
    “Sahabatmu?”
    “Serta dia menyanyikannya di depanku.”
    “Sebagus suara Kakak gak?”
    “Yah, 11 : 12 lah..hehe”
    “Gak sakit dek?”
    “Sakitlah, Kak.. Gimana coba rasanya? Kakak sih gak pernah rasain?”
    “Ihhh, enak aja. Pernah ya.. Tapi aku cuek aja..”
    “Kenapa?”
    “Karena aku sadar, akan ada saatnya aku bersama seseorang itu.”
    “Siapa kak?”
    “Rahasia. Cerita kisahmu dulu dong!”
    “Sebenernya aku memang mau cerita ke Kakak. Tiap lihat kakak sibuk, pasti bawaannya gak kesampaian. Yang inilah, itulah, kerja kelompok, dan bla bla bla. Tapi aku senang ternyata Kakak menyadari perubahanku. Memang benar ini menyangkut dengan sahabatku. Dan tentu saja aku gak bisa cerita ke mereka. Tapi bukan karena itu aku mau cerita ke kakak. Aku cerita ke kakak, karena…”
    “Iya dek, langsung ke cerita aja ya…”
    “Heh… Iya wes. Aku gak tau sebenernya mau mulai darimana. Karena perasaan itu muncul suddenly, tiba-tiba gitu aja. Aku juga sebenernya gak mau ngerasain ini dulu. Karena apa? Aku takut aku berubah jadi sosok lain yang termakan perasaan.”
    “Bukan karena sakit hati?”
    “Itu resiko, Kak.”
    “Ecieeee, Adek kakak udah dewasa ya..”
    “Heh.. belum kok. Aku masih manja :p”
    “Nah, terus..terus?”
    “Terus aku mulai suka saat ada pesta mading di sekolah. Kebetulan aku ditunjuk jadi Ketua Pelaksana. Dia waketupel. Nah, karena hal itulah kami deket. Sebenernya aku biasa aja sih. Tapi hal itu berubah saat, salah satu temenku sering banget ngomongin dia. Dari cara bicara si Sheila ini, temen deketku ini. Dia suka sama Dio.”
    “Ohh, namanya Dio..”
    “Stsss…jangan keras-keras, ntar kedengeran yang lain.”
    “Ndak kira..”
    “Tiba-tiba muncul aja rasa itu Kak, kesel karena ternyata Sheila lebih banyak tahu tentang Dio. Kesel ketika tahu Sheila bener-bener suka Dio. Tiba-tiba aja, aku jadi mikirin mereka berdua. Aku baru sadar juga ternyata aku juga hanya keGRan. Sikap dia yang supel dan loyal buat aku suka sama dia, salutlah. Pernah pas setelah beres-beres mading dia tanya tentang lagu kesukaanku. Terus tanya juga mau pulang bareng atau gak. Tapi aku nolak, bukan karena gak mau, aku mau aja kok. Tapi aku gak suka dibonceng sama orang lain, kecuali Papa dan Kakak.”
    “Beneran gitu?”
    “Aku takut juga salah ngartikan perhatiannya, takut aku salah paham. Kami juga sempet ngobrol di kantin. Dia tanya tentang teman-temanku dan banyak lainnya. Dia tanya tentang kegiatanku bersama teman-temanku. Ataupun buku yang sering jadi bahan diskusian sama temanku. Lagu kesukaan kami bersama, film, artis, dan bla bla bla.”
“Jadi selalu tanya kegiatan yang dengan temanmu?”
“Iya. Dan akhirnya iya. Aku salah mengartikan. Seminggu setelah itu Dio ke kelasku. Bukan untuk bahas rapat atau proposal acara. Tapi dia membawa gitar menyanyikan lagu kesukaanku…

"Take me where I've never been,
Help me on my feet again.
Show me that good things come to those who wait.
Tell me I'm not on my own.
Tell me I won't be alone..

Mengesankannya, teman-temanku keluar semua. Lalu semua mata tertuju padaku. Kecuali Sheila. Dia melangkah perlahan dibelakangku. Saat aku keluar kelas, dia berkata… ‘Lagu ini khusus untuk Sheila, dan Sheila ini berkat temanmu aku tahu segala tentangmu. Semua surat itu, sms itu aku yang mengirim’ Kamu ingin tahu siapa aku kan? Ini aku…

Tell me what I'm feelin' isn't some mistake.
'cause if anyone can make me fall in love, you can..”

“Dan apa yang kamu lakukan?”
“Aku langsung tersenyum dan tentu saja menyingkir dari mereka berdua. Aku berharap itu aku, itulah yang aku inginkan, tapi aku tau itu buka yang aku butuhkan.”
“Maksudnya?”
“Aku tak butuh hal itu. Seperti kata Kakak akan ada saatnya bersama seseorang itu.”
“Lalu kenapa kamu jaga jarak dengan Sheila?”
“Sebenarnya tidak. Tapi aku tak mau dia melihatku sedih, atau pun tak bahagia saat dia sudah mempunyai seseorang. Selain itu untuk menghilangkan rasa kecewaku sama Dio. Kecewa karena seperti sudah dimanfaatkan dan…”
“Aku yakin dia tak maksud begitu. Dia memilihmu untuk tau segalanya tentang Sheila juga tak semudah itu, aku tau kamu tak mudah didekati cowok. Dia…percaya kamu.”
“Tapi gak gini juga kan?”
“Itu caranya. Jangan salahkan cara orang lain juga, Dek. Pikirkan juga caramu sama orang lain gimana. Apalagi kalo udah ada rasa, pasti…”
“Pasti ngalir gitu aja, ngikutin kemana aja dia, jawab ini itu. Kerasa kayak orang begok.”
“Hei…”
“Gak ngerasa apa Kak dia. Aku suka dia. Aku… suka dia.”
“Mungkin bukan saatnya. Kamu juga kan yang bilang hal ini bukan sesuatu yang kamu butuhin.”
    “Nggg…”
    “Walau kamu ingin, tapi terkadang itu bukan sesuatu yang kamu butuhin. Aku ingin lihat kamu bahagia, Dek. Bukan gini. Kemana smash-an mu yang keras itu. Kemana muka innocent kalo dimarahi selalu cengingisan? Kemana ngambekanmu, kalo gak dibonceng aku?”
    “Yang terakhir gak bener tuh, Kak. Apa aku sudah berubah? Aku sudah bersikap biasa saja.”
    “Kamu gak bisa bohongin aku dek. Aku tau.”
    “Really? I’m not sure.”
    “You must believe it. Kalo gak ngapain aku minta kamu cerita, pas nganterin kamu pulang dan…”
    “Eitsss, jadi tadi nganterin karena ini…”
    “Ehhh, ya gak gitu. Aku kan peduli sama adekku. Kasian mukanya lusuh terus.”
    “Hadah…”
    “Ayok nyanyi…”
    “Ayok!”
    “Lagu apa?”
    “Regina Spektor-The Call”
    ”Yes, with my pleasure.”

Sejak saat itu beban di benakku sedikit-sedikit telah tekikis. Walau luka yang tak akan pernah sembuh ini akan selalu menimbulkan rasa sakit, terkadang. Namun aku bisa lebih kuat berkat semangat kakakku ini. Keesokan harinya, aku mengajak pulang bareng kakakku. Tapi, dia menolak entah apa alasannya. Terasa cukup aneh bagiku. Namun aku juga harus bersyukur berkat tak jadi bareng Kakakku, aku bisa mengerjakan tugasku yang belum selesai di perpustakaan sekolah. Tapi tak ku sangka itulah, pertemuan terakhirlu dengan Kak Yuna. Serasa baru kemarin aku merasakan kehadirannnya. Serasa baru kemarin aku dapat menangis dihadapannya. Cerita tentang cerita yang tak pernah kubagi kepada sembarang orang. Namun ternyata itulah tanda Kak Yuna akan pergi. Bukan untuk satu hari, seminggu, atau setahun, tapi selamanya…
 
Selamat jalan Kak Yuna, jangan merindukanku ya? Bukankah Tuhan telah menjagamu disana? Kini resmi sudah aku gak bisa nebeng Kakak. Tapi gapapa kok ada Papa. Ohh ya, aku hampir lupa. Tadi ada Bang Tohir yang nanyain aku kok sendirian, kan biasanya tiap Minggu kita naik bus. Dia lupa Kakak udah gak ada. Aku juga iri Kak, lihat ada keluarga kayak kita, ada Mama, Papa, kakak laki-laki, dan adek perempuan mau naik bus. Ngingetin pas ke rumah Nenek di Surabaya. Sekarang bisanya cuma bertiga. Kakak juga belum ngajarin aku main gitarkan? Tapi gapapalah, aku udah bisa dikit… Ingat nggak bait ini, yang kita nyanyikan malem itu…?

It started out as a feeling
Which then grew into a hope
Which then turned into a quiet thought
Which then turned into a quiet word
And then that word grew louder and louder
'Til it was a battle cry
I'll come back
When you call me
No need to say goodbye… (The Call by Regina Spektor).

Gunakan waktu sebaik-baiknya, lihatlah orang di sekelilingmu. Ketika masih ada perhatikan mereka, sayangi mereka. Karena saat telah pergi akan terasa hampa yang tak terkira. Karena setelah pergi akan tersisa kenangan dan angan, serta harapan. Dimana sosok itu tak akan pernah kembali. Yang mungkin tak akan ada yang mampu mengisi lukisanmu dengan warna, tulisanmu di diary, setiap melodi dalam lagumu, ataupun tak akan ada yang mengisi hatimu dengan kesejukan kasih sayang. Karena itu ini bukan kisah yang pertama, tapi ini kisah untuk selamanya.

_The End_

Komentar

Postingan Populer